Teori Belajar

KATA PENGANTAR


                   Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini tepat waktu dengan judul  “Teori  Belajar  dan Tingkah Laku Menurut Para Ahli Serta Penerapan Tingkah Laku di Dalam Kelas”. Terima kasih kami ucapkan pada Ibu Nur Hidayati selaku dosen pembimbing serta teman-teman yang telah membantu tercapainya makalah ini.  Makalah ini berisi tentang imformasi tentang pengertian-pengertian teori belajar dan tingkah laku serta penerapan-pembelajaran didalam kelas. Kami berharap bahwa makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua.
                   Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.









                                                            Penyusun









PEMBAHASAN


A.Pengertian Teori Belajar dan Tingkah Laku (Behavioristik)

                   Belajar terjadi dengan banyak cara kadang-kadang belajar di sengaja, ketika siswa memperoleh informasi yang disampaikan oleh guru di kelas, atau ketika mereka mencari sesuatu yang ada di ensiklopedia atau buku. Tanggung jawab guru adalah membantu siswa untuk belajar , dan cara yang paling baik untuk kesuksesan peserta didik yaitu dengan cara mengulang-ulang. Ini merupakan prinsip teori belajar tingkah laku (behavioral learning theories) yang mendominasi pikiran tentang pengajaran pada waktu itu. Misal: siswa menghabiskan waktu mereka dengan menyalin ejaan kata-kata, inforamasi sejarah, rumus-rumus ilmu alam berulang-ulang sampai mereka benar-benar dapat menguasai pelajaran yang telah di terimanya.
                   Behavior (perilaku ) adalah kegiataan  organisme yang dapat  diamati dan yang bersifat umum mengenai otot-otot dan kelenjar-kelenjar sekresi eksternal sebagaimana terwujud dalam gerakan bagian-bagian tubuh atau pada pengeluaran airmata atau keringat. Teori perilaku dalam psikologi pendidikan menegaskan bahwa dalam mempelajari individu, yang seharusnya dilakukan oleh para ahli psikologi adalah menguji dan mengamati perilakunya bukan mengamati kegiatan dalam tubuhnya.
                   Teori tingkah laku mula-mula dikembangkan oleh John B. Watson (1878-1958), seorang ahli psikologi Amerika, pada awal tahun 1990an. Watson ketika itu menolak pandangan bahwa psikologi adalah studi tentang kegiatan mental dengan menggunakan metode introspeksi dan menganjurkan agar psikologi lebih membatasi pada studi tentang perilaku (behavior) yang dapat diamati. Di luar tradisi behavioral, berkembang keyakinan bahwa perkembangan ialah perilaku yang dapat diamati, yang dipelajari melalui pengalaman dan lingkungan.









B.Beberapa teori belajar dan tingkah laku menurut para ahli diantaranya :

«     E.L Thorndike: The Law of Effect
                   Teorinya dikenal sebagai connectionism (pertautan, pertalian) karena dia berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses “stapping in” (diingat), forming, hubungan antara Stimulus dan Respon. Thorndike mengembangkan teori ini dari sebuah penelitian pada seekor kucing yang di tempatkan di “puzzle box” yaitu kurungan kecil dengan pintu yang akan terbuka apabila kucing tersebut menarik tali yang tergantung dalam kurungan. Tugas kucing di sini yaitu keluar dari kurungan untuk mendapatkan sebuah makanan (reward) yang di temaptkan di luar kurungan. Dan teori ini di ulang-ulang sampai kucing memusatkan tingkah lakunya di sekeliling tali, akhirnya menarik tali, pintu terbuka dan mendapat makanan.
                   Dari eksperimn ini dapat disimpulkan bahwa belajar dapat terjadi dengan dibentuknya hubungan, ikatan, bond, asosiasi, atau koneksi neural yang kuat antara stimulus dan respons. Dengan ini maka teori Thorndike disebut dengan teori koneksionisme. Untuk dicapainya hubungn antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau perobaan-percobaan(trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Dengan ini Thorndike mengutrakan bentuk pling dasar dari belajar adalah “Trial and error learning” atau “Selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut hokum-hukum tertentu.        

«     Ivan Pavlow: Classical Conditioning
                   Teori classical conditioning atau kondisioning klasik dikembangkan oleh Ivan P. Pavlov (1849-1936), ilmuwan Rusia, yang mulai mengembangkan teori perilaku melalui percobaannya tentang anjing dan air liurnya. Pross ang ditemukan oleh Pavlov, dimana perangsang yang asli dan netral atau rangsangan biasanya diberikan secara berulang-ulang dipasangkan dengan unsur  penguat, akan menyebabkan suatu reaksi. Perangsang netral tadi disebut perangsang bersyarat atau terkondisionir, yang disingkat dengan CS (Conditional Stimulus). Penguatnya adalah perangsang tidak bersyarat, atau US (Unconditional Stimulus). Reaksi alami (biasa) atau reaksi yang tidak dipelajari disebut reaksi bersyarat atau CR (Conditional Response).
                   Pavlov mengaplikasikan istilah-istilah tersebut sebagai berikut: suatu penguat ialah setiap agen, seperti makanan, yang biasa, mengurangi sebgian dari suatu kebutuhan. Dengan demikian biasanya dari mulut anjing akan keluar air liur (UR) sebagai reaksi terhadap makanan (US). Apabila suatu rangsangan netral, seperti sebuah bel atau genta (CS) dibunyikan bersamaan dengan waktu penyajian makanan tadi, maka peristiwa ini akan memunculkan air liur (CS).

A.    Sebelum kondisioning
B.     Selama kondisioning
C.     Setelah kondisioning
                   Melalui paradigma kondisioning klasiknya, Pavlov memperlihatkan betapa anjing dapat dilatih mengeluarkan air liur bukan terhadap rangsang semula(makanan), melainkan terhadap rangsang berupa bunyi. Hal ini terjadi bilamana pada waktu memperlihatkan makanan pada anjing sebagai rangsang yang menimbulkan air liur, dibarengi dengan membunikan lonceng atau bel, sekalipun makanan tidak diperlihatkan atau diberikan. Disini terlihat bahwa rangsang makann telah berpindah ke rangsang bunyi untuk mmperlihatkan jawaban yang sama, yakni pengeluaran air liur.
                   Paradigma kondisioning klasik ini menjadi paradigma pembentukan bermacam-macam pembentukan tingkah laku yang merupakan rangkaian dari yang satu ke yang lain. Kondisioning klasik ini berhubungan pula dengan susunan syaraf tak sadar dan otot-ototnya. Dengan demikian, jawaban emosional merupakan sesuatu yang terbentuk melalui kondisioning klasik.

«     J.B Watston: Conditioning Reflect
                   Watson percaya bahwa belajar adalah suatu proses dari conditioning reflect (respon) melalui pergantian stimulus kepada yang lain. Manusia dilahirkan dengan beberapa refleks dan reaksi emosi, ketakutan, cinta dan marah. Semua tingkah laku dikembangkan oleh pembentukan hubungan S-R baru melalui conditioning. Anak semula tidak takut pada tikus menjadi takut. Contoh dalam kelas, seorang guru meminta satu siswa untuk menterjemahkan di muka kelas, dan siswa yang melakukan kesalahan mendapatkan marah, maka yang awalnya siswa tidak takut menjadi takut dampak dari sitimulus.

«     B.F Skinner: Operant Conditioning
                   Teori dikembangkan oleh B.F. Skinner yaitu seorang psikolog dari Harvard yang telah berjasa mengmbangkan teori perilku dari Watson. Pandangannya tentang kepribadian disebut dengan “Behaviorisme Radikal”. Behaviorisme menekankan pada studi ilmiah tentang respon perilaku yang dapat diamati dan determinan lingkungan. Dalam behaviorisme Skinner, pikiran, sadar, atau tidak sadar tidak diperlukan untuk menjelaskan perilaku dan perkembangan. Bagi Skinner, perkembangan adalah perilaku. Oleh karena itu, para behavioris yakin bahwa perkembangan dipelajari dan sering diubah sesuai pengalaman-pengalaman lingkungan. Skinner mengembangkan teori belajar yang dikenal dengan operant conditioning. Pengkondisian operan adalah suatu bentuk behaviorisme deskriptif, yang berusaha menegakkan  hukum tingkah laku melalui studi mengenai pelajaran seara operan. Operan adalah suatu reaksi pancaran (limite response) sebagai kontras dari responden(respondent), yaitu satu kelas tingkah laku yang dipelajari dengan tekhnik kondisioneng Pavlovian. Sebagai kontras, operan dapat dipelajari bebas dari kondisi-kondisi perangsang yang membangkitan.
                   Dengan demikian, kalau pada kondisioning klasik melibatkan tingkah laku yang muncul sebagai akibat pembrian stimulus penguat (reinforcement), maka pada kondisioning operan tersebut melibatkan perilaku yang dikontrol oleh rangsang penguat. Dengan perktaan lain, pada kondisioning klasik, penguatan yang dilakukan brulang-ulang menghasilkan jawaban (tingkah laku), sedangkan pada kondisioning operan jawaban atau tingkah lakulah ang menimbulkan penguat.

                   Untuk mendemontrasikan pengkondisian operan di laboratoium, Skinner meletakkan seekor tikus yang lapar dalam sebuah kotak, yang disebut “kotak Skinner”. Di dalam kotak tersebut, tikus dibirkan melakukan aktivitas apa saja, berjalan ke sana ke mari menjlajah lingkungan sekitr. Dalam aktivitasnya itu, tikus tanpa sengaja menyentuh suatu tuas dan menyebabkan keluarnya makanan. Tikus akan melakukn lagi aktivitas yang sama untuk memperoleh mkanan, yakni dengan menekan tuas. Semakin lama semakin sedikit aktivitas yang dilakukan untuk menyentuh tuas dan memperoleh makanan. Disini tikus mempelajari hubungan tuas dengan makanan. Hubungan ini akan terbentuk apabila makanan tetap  merupakan hadiah bagi kegiatan yang dilakukan oleh tikus. Bilamana makanan tidak keluar (tidak ada hadiah), maka hubungan ini lama-lama akan mengendor dan hilang.
                   Kondisioning operan juga melibatkan proses-proses belajar dengan menggunakan otot-otot secara sadar untuk memunculkan respons yang diikuti pengulangan untuk penguatan. Tetapi hal ini masih dipengaruhi oleh rangsang-rangsang yang ada dalam lingkungan, yaitu kondisi dan kualitas serta penguatan terhadap rangsangnya akan mempengaruhi jawaban-jawaban yang akan diperlihatkan. Jadi, penguatan melalui penguatan rangsang agar diperlihatkan jawaban tingkah laku yang diharapkan merupakan hal yang penting pada kondisioning operan. Agar suatu jawaban, atau tingkah laku yang baru dapat terus diperlihatkan, maka diperlukan penguatan rangsang yang sekunder atau melalui penguatan rangsang yang terencana.






C. Penerapan teori Tingkah Laku di dalam Kelas

                   Langkah dasar untuk mengubah tingkah laku yaitu meninjau langkah dasar yang menggunakan prinsip-prinsip teori tingkah laku dalam mengembangkan suatu program modifikasi (mengubah) tingkah laku. Di bawah ini beberapa contoh yang menggambarkan bagaimana seorang guru menjalankan suatu program:

1.      Mendefinisikan dan menyatakan secara opeasional tingkah laku yang dapat merubah
2.      Memperoleh suatu gambaran dari tingkah laku tingkat operant dimana kita mempertimbangkan untuk mengubah
3.      Mengatur situasi belajar atau situasi perlakuan sehingga tingkah laku yang kita inginkan terjadi
4.      Mengidentifkasi reinforcer yang potensial
5.      Membentuk atau memperkuat tingkah laku yang di inginkan, dan jika perlu menggunakan prosedur memperlemah tingkah laku yang tidak tepat
6.      Menyusun catatan dari tingkah laku yang diperkuat untuk menentukan apakah pengutan atau frekuensi dari respons bertambah

a)      Hukum-hukum belajar Thorndike
                   Thorndike merumuskan hasil penelitiannya dalam tiga hukum dasar (hukum primer) dan lima hukum tambahan. Adapun hukum dasar dari Thorndike adalah sebagai berikut:
       I.  Hukum kesiapan(the law of readiness) yang rumusannya sebagai berikut:
·         Bila seseorang sudah siap malakukan suatu tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut memeri kepuasan baginya sehingga tidak akan melaakukan tingkah laku yang lain.
·         Bila seseorang sudah siap melakukan suatu tingkah laku, tetapi tidak dilaksanakan tingkah laku tersebut, maka akan menimbulkan kekecewaan baginya yang menebabkan ia melakukan tingkah laku yang lain untuk mengurangi kekecewaannya.
·         Bila seseorang belum siap melakukan suatu tingkah laku tetapi dia harus melakukannya, maka akan menimbulkan ketidakpuasan yang menyebabkan ia melakukan tingkah laku yang lain untuk menghalangi terlaksananya tingkah laku tersebut.
·         Bila seseorang belum siap melakukan suatu tingkah laku dan dia tidak mealakukanya maka akan menimbulkan kepuasan.
    II.  Hukum Latihan (the law of exercise)
                   Hukum ini dibagi dua, yaitu hukum penggunaan (the law of use) dan hukum tidak ada penggunaan (the law of disuse). Untuk the law of use dinyatakan dengan latihan berulang-ulang, hubungan stimulus dan respons makin kuat. Sedangkan untuk the law of disuse dinyatakan hubungan antara stimulus dan respons melemah bila latihan dihentikan. Contoh: bila peserta didik dalam belajar bahasa inggris selalu menghafal perbendaharaan kata maka bila ada stimulus yang berupa pertanyaaan “apa bahasa Inggrisnya makan?” peserta didik langsung dapat memberi jawaban (respons) dengan benar. Tetapi bila peserta didik tidak pernah menggunakan kata itu, maka peserta didik tidak pernah menggunakan kata tersebut , maka peserta didik tidak dapat emberi respons yang benar.
                   Dari hukum ini dapat ditarik kesimpulan, bila prinsip utama belajar adalah ulangan. Makin sering suatu pelajaran diulangi, makin dikuasailah pelajaran tersebut, dan makin tidak pernah diulangi pelajaran tersebut maka makin tidak dapat dikuasai.

 III.  Hukum akibat (the law of effect)
                   Dari hukum ini dinyatakan hubungan stimulus respons diperkuat bila akibatnya memuaskan dan diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Dengan perkataan lain, suatu perbuatan yang diikuti oleh akibat yang menenangkan, cenderung diulang, dan apabila akibatnya tidak menyenangkan akan dihentikan. Dengan ini nampak bila hukum akibat eratnya hubungannya dengan hadiah dan hukuman. Tingkah laku yang menghasilkan hadiah akan terus dilakukan sedangkan yang mengakibatkan hukuman akan dihentikan.
Contoh: siswa yang menyontek tetapi didiamkan saja, justru dinilai A, maka kesempatan lain akan menontk lagi. Tetapi bila siswa tersebut ditegur atau dipindahkan tempat duduknya sehingga teman-temannya tahu kalau dia menyontek, maka dia malu dan tidak akan menyontek lagi.
Mengenai lima hukum tambahan dari Thorndike, sebagai berikut:
a.       “multiple respons” atau reaksi yang bervariasi merupakan langkah permulaan dalam belajar. Melalui proses “trial and error” seseorang akan melakukan bermacam-macam respons sebelum memperoleh respons yang tepat dalam memeahkan masalah yang dihadapi. 
b.      Sikap (set atau attitude) adalah situasi di dalam diri individu yang menentukan apakah sesuatu itu menyenangkan atau tidak bagi individu tersebut. Situasi ini ada yang lebih bersifat sementara, misalnya kelelahan, lapar, emosi, dan ada yang lebih menetap, misalnya latar belakang kebudayaan dan faktor keturunan. Proses belajar individu dapat berlangsung dengan baik, lancer, bila situasi menyenangkan,dan terganggu bila situasi tidak menyenangkan.
c.       Prinsip aktivitas berat sebelah (partial activity/prepotensi of elements) merupakan prinsip yng menyatakan bahwa manusia memberikan respons hanya pada aspek tertentu sesuai dengan persepsinya dari keseluruhan situasi (respons selektif). Dengan demikian orng dapat memberikan respons yang berbeda pada stimulus yang sama. Ini berarti dalam proses belajar, orang harus memperhatikan lingkungan yang sangat kompleks yang dapat memberi kesan yang berbeda pada orang yang berbeda. 
d.      “response by analogy”
                   Menurut Thorndike, manusia dapat memberikan respons pada situasi yang belum dialami karena mereka dapat menghubungkan situasi baru yang belum dilami dengan situasi lama yang pernah mereka alami, selanjutnya terjadi transfer unsur-unsur yang telah mereka kenal ke situasi baru. Transfer of training dikenal pula dengan sebutan “teory of identical elements”. Makin banyak unsur yang identik, “transfer” makin mudah.
Contoh: peserta didik di rumah dapat membaca Koran walaupun tidak pernah diberi pelajaran membaca Koran, karena huruf-huruf yang ada di Koran identik dengan huruf-huruf yang di pelajari di sekolah.
                   Dengan lahirnya konsep “transfer of training”, thorndike mengharapkan agar pengetahuan yang diperoleh peserta didik di sekolah dapat diterapkan untuk berbagai keperluan di luar sekolah. Dengan kata lain agar transfer dari seolah ke masyarakat. Untuk terlaksanana hal ini unsur-unsur di sekolh diusahakan sebanyak mungkin identik dengan unsure-unsur di masyarakat. Misalnya kurikulum sekolah, suasana kelas dibuat sedemikian rupa sehingga mencakup tugas-tugas dan kemampuan yang diperlukan di luar sekolah.
e.       Perpindahan asosiasi (associative shifting)
                   Prinsip ini berhubungan dengan teori “identical elements” pada “transfer of training”, Karen adanya unsure”transfer” di dalamnya. Yang dimaksud dengan “associative shifting” adalah proses peralihan suatu situasi yang telah dikenal ke situasi yang belum dikenal secara bertahap, dengan cara ditambahkan sedikit demi sedikit unsure-unsur (element) baru dan membuang sunsur lama sedikit demi sedikit, yang menyebabkan suatu respons dipindahkan dari suatu situasi yang sudah dikenal ke situasi lain yang baru sama sekali. Hasilnya, respons yang tadinya dihubungkan dengan situasi tertentu yang lama, dipindahkan sehingga dihubungkan dengan situasi yang baru sama sekali. Bagan dari associative shifting sebagaai berikut:
S          abcde               R
            abcdi               R
            abchi                R
            abhij                R
            ahijk                R
S          hijkl                 R
Dari bagan di atas nampak bila unsur paling atas sangat berbeda dengan unsure pada baris paling bawah. Proses ini mirip dengan conditioned response.

IV.Revisi Hukum Belajar Dari Thondike
                   Eksperimen Thorndike dilakukan pada tahun 1913, 1932, 1935 dan 1968. Slama eksperimen selalu ada perkembangan-perkembangan, sehingga berdasarkan eksperimen yang dilakukan pada setelah tahun 1930, timbullah revisi-revisi pada teori sebagai berikut:
a.       Hukum latihan ditinggalkan, karena ditemukan bila pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan antara stimulus dengan respons, demikian pula tanpa ulangan belum tentu melemahkan hubungan stimulus-respons.
b.      Hokum akibat (the law of effect) direvisi, karena dalam penelitiannya lebih lanjut ditemukan bahwa hanya sebagian saja dari hokum ini yang benar. Dengan ini maka hukum akibat dijelaskan bila hadiah (reward) akan meningkatkan hubungan stimulus-respons, tetapi hukuman (punishment) tidak mengakibatkan effek apa-apa. Dengan revisi ini berarti Thorndike tidak menghendaki adanya hukuman dalam belajar.
c.       Belongingness, yang intinya, syarat utama bagi terjadinya hubungan stimulus-respons bukannya kedekatan, tetapi adanya saling sesuai diantara kedua hal tersebut.dengan demikian maka situasi belajar akan mempengaruhi hasil belajar.
d.      Spread of effect, ang intinya, akibat dari suatu perbuatan dapat menular. Misalnya, siswa yang setelah giat belajar matematika dapat mengerjakan soal dengan mudah dan mendapat nilai A, hal tersebut akan mengakibatkan ia ingin giat belajar di pelajaran yang lainnya. Tidak hanya itu, teman-teman sekelasnya pun ingin mengikutinya.


1.      Penerapan teori Thorndike dalam kelas
a.       Thorndike berpendapat, cara mengajar yang baik bukanlah mengharapkan siswa tahu apa yang telah diajarkan, tetapi guru harus tahu apa hendak diajrkan. Dengan ini guru harus tahu materi apa yang harus diberikan, respon apa ang diharapkan dan kapan harus member hadiah atau membetulkan respons yag salah. Oleh karena itu, tujuan pendidikan harus dirumuskan dengan jelas.
b.      Tujuan pendidikan haarus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik dan harus terbagi dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkannya dalam bermacam-macam situasi.
c.       Supaya peserta didik dapat mengikuti pelajaran, proses belajar harus bertahap dari yang sederhana sampai yang kompleks.
d.      Dalam belajar motivasi tidak begitu penting karena perilaku pserta didik lebih ditentukan oleh eksternal rewards dan bukan oleh intrinsic motivation. Yang lebih penting dari ini adalah adanya respon yang benar terhadap stimulus. Bila peserta diik melakukan respons yang salah harus segera diperbaiki, sebelum sempat diulang-ulang. Dengan demikian ulangan yang teratur diper lukan sebagai kontrol guru, untuk mengetahui apakah peseta didik sudak melakukan respons yang benar atau belum terhadap stimulus yang diberikan leh guru. Supaa guru mempunyai gambaran ang jelas dan tidak keliru terhadap kemajuan anak, ulangan harus dilakukan dengan meningat hukum kesiapan.
e.       Peserta didik yang sudah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah dan jika belum baik harus segera diperbaiki.
f.       Situasi belajar harus dibuat menyenangkan dan mirip dengan kehidupan dalam masarakat sebanyak mungkin sehingga dapat terjadi transfer dari kelas ke lingkungan di luar kelas.
g.      Materi pelajaran yang diberikan kepada peserta didik harus ada manfaatnya untuk kehidupan anak kelak setelah keluar dari sekolah.
Dengan diberikan pelajaran-pelajaran yang sulit, melebihi kemampuan anak tidak akan meningkatkan kemampuan penalarannya.

v  Hukum-hukum belajar Ivan Pavlow
Penerapan Teori Classical Conditioning Dalam Kelas

Memang teori sukar diterapkan di dalam kelas, tetapi secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut.
contoh :
mata pelajaran matematika      +          diajarkan oleh guru yang otoriter (US)                       sikap negatif
(CS)                                                                                                                             (CR)

v  Penerapan Teori Conditioning Operant Dalam Kelas B.F Skinner
      
1.      Hendaknya bahan yang dipelajari dianalisis sampai pada unit-unit secara organis sistematis.
2.      Hasil belajar harus segera diberitahukan jangan ditunda. Harus segera diberi feedback. Jika salah dibetulkan, jika betul diberi reinforcement.
3.      Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
4.      Bahan pengajaran terprogra secara linier yaitu system modul.
5.      Tes hendakna ditekankan untuk kepentingan diagnostic.
6.      Dalam proses belajar mengajar lebih dtekankan pada aktivitas sendiri.
7.      Tidak menggunakan hukuman dalam pendidikan.
8.      Dalam pendidikan lebih mengutamakan mengubah lingkungan untuk menghindari pelanggaran agar tidak menghukum.
9.      Tingkah laku yang tidak diinginkan (bila dibuat anak) dibiarkan tidak diperhatikan, tetapi bila melakukan tingkah laku sesuai yang diinginkan diberikan reinforcement.
10.  Hadiah diberikn kadang-kadang bila perlu.
11.  Tingkah laku yang diinginkan dianalisis kecil-kecil semakin meningkat mencapai tujuan.
12.  Sangat mementingkan shaping, yaitu pengarahan agar mencapai tujuan.
13.  Mementingkan kepentingan yang akan menimbulkan tingkah laku operant.
14.  Dalam belajar mengajar menggunakan teaching machine.
15.  Melaksanakan mastery matching yaitu anak mempelajari secara tuntas menurut waktunya masing-masing karena tiap anak berbed-beda iramanya. Akibatnya siswa naik atau tamat sekolah dalam waktu yang berbeda-beda. Tugas guru semakin berat dan administrasi semakin kompleks.  

PENUTUP

A.    KESIMPULAN

            Teori tingkah laku mula-mula dikembangkan oleh John B. Watson (1878-1958), seorang ahli psikologi Amerika, pada awal tahun 1990an.Namun kemudian ada banyak ahli teori pembelajaran dan penerapan teori belajar  yang digunakan dalam proses pembelajaran. Seperti    E.L Thorndike: The Law of Effect dalam teorinya dikenal sebagai connectionism (pertautan, pertalian), Ivan Pavlow: Classical Conditioning dalam teori classical conditioning,   B.F Skinner: Operant Conditioning, dan J.B Watston: Conditioning Reflect. Para ahli tersebut mengembangkan teori-teori yang baik dalam proses pembelajaran sehingga tercipta proses belajar mengajar yang baik digunakan.


B.     SARAN
             Ada banyak metode-metode belajar yang telah di kemukakan oleh para ahli, sekarang tinggal kita memilih metode mana yang sesuai dengan cara mengajar kita. Oleh karena itu sebagai seorang pendidik  sebaiknya memilih metode-metode yang baik dalam pembelajaran agar tercipta kegiatan belajar yang nyaman.















DAFTAR PUSTAKA

Tim Penulis Buku Psikologi Pendidikan.1993.Yogyakarta:UPP FKIP Yogyakarta
Desmita.2009.Psikologi Perkembangan.Bandung:PT REMAJA ROSDAKARYA